Saturday, August 18, 2018

Model-model Penyelesaian Utang Luar Negeri Indonesia Oleh Edwin Sebayang



Model-model Penyelesaian Utang Luar Negeri Indonesia


Oleh Edwin Sebayang






Bagi enam negara pengutang terbesar di Amerika Latin, masing-masing Argentina, Brazil, Cile, Meksiko, Peru, dan Venezuela, dasawarsa tahun 1980-an adalah sebuah dekade yang hilang (a lost decade). Pembangunan sosial dan pembangunan ekonomi tidak terjadi dan tidak menyebar hampir ke seluruh negara Amerika Latin.


Keadaan sosial-ekonomi negara-negara tersebut stagnan dan untuk beberapa kasus bahkan terjebak utang (debt trap). Akibat krisis utang tersebut, salah satu di antaranya yaitu Meksiko, pada Agustus 1982, menyatakan negaranya bangkrut, sehingga menimbulkan guncangan (shock) keuangan internasional.


Krisis utang telah pula memicu krisis multidimensi 1980-an di Amerika Latin, seperti (1) menghambat pembangunan ekonomi, (2) sulit mencapai keseimbangan sosial, (3) mengancam demokrasi, dan (4) mengancam lingkungan hidup. Begitu halnya bagi Indonesia dewasa ini, utang luar negeri membengkak karena pinjaman luar negeri yang besar tidak disertai dengan pengeloaan utang luar negeri secara baik. Banyak dana dikorupsikan dan nilainya di-mark-up pada beberapa proyek sehingga utang luar negeri menjadi beban yang sangat berat.


Utang luar negeri Indonesia dari tahun ke tahun terus melonjak. Total utang luar negeri (gabungan utang pemerintah, BUMN, dan swasta) tahun 1994 misalnya, naik sekitar 19,74 persen menjadi US$ 96,5 miliar dari tahun sebelumnya US$ 80,592 miliar.


Lonjakan utang itu makin besar tahun 1997 lalu menjadi US$ 136,088 miliar, atau naik senilai US$ 25,917 miliar (23,52 persen) dari tahun 1996 senilai US$ 110,171 miliar. Tahun 1998 juga masih terjadi kenaikan yang signifikan menjadi US$ 150,886 miliar atau naik US$ 14,798 miliar (10,87 persen) dari tahun sebelumnya.


Angka-angka tersebut menunjukkan, persentase kenaikan utang luar negeri setelah krisis ternyata tidak sebesar dibandingkan persentase kenaikan total utang luar negeri yang terjadi sebelum krisis.


Seiring dengan semakin membengkaknya jumlah utang luar negeri dari pemerintah, BUMN dan swasta Indonesia, semakin besar pula pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri. Jadi dapat dikatakan telah terjadi negative inflow (jumlah total pinjaman luar negeri yang diterima Indonesia lebih kecil dibandingkan cicilan pokok dan bunga yang harus dibayarkan) untuk utang pemerintah dan BUMN.


Indonesia telah mengalami negative inflow beberapa tahun sebelumnya. Misalnya, sejak tahun anggaran 1992 sampai tahun 1999 jumlah cicilan pokok dan bunga yang harus dibayar lebih besar dari jumlah pinjaman yang diterima. Jumlah pinjaman luar negeri tahun 1992 dari IGGI/CGI berjumlah US$ 4,949 miliar sedangkan pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri sebesar US$ 8,114 miliar.


Jelas terjadi negative inflow US$ 3,165 miliar. Negative inflow yang terjadi semakin membesar dan mencapai puncaknya pada tahun 1996 di mana utang yang diperoleh dari IGGI/CGI sebesar US$ 5,260 miliar sedangkan pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri sebesar US$ 10,970 miliar. Sehingga negative inflow yang dialami Indonesia sebesar US$ 5,71 miliar.


Dua Cara


Secara garis besar, terdapat dua cara untuk menyelesaikan krisis utang luar negeri negara-negara di Amerika Latin, yakni bekerja sama (cooperative) dan konfrontasi (confrontation). Penyelesaian utang luar negeri melalui cooperative terbagi lagi menjadi empat rencana, yaitu 1) The Herrhausen Plan Model, 2) The Sachs Proposal Model, 3) Institutionalized Insolvency Proceedings Model, dan 4) International Debt Conference Model.


Sedangkan bentuk-bentuk penyelesaian utang luar negeri melalui cara konfrontasi seperti (1) penolakan permanen secara radikal dari utang (radical unilateral permanent repudiation of debts) atau penolakan total atas pembayaran baik pokok maupun cicilan utang luar negeri (total refusal to service debts), dan (2) penempatan batasan atas pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri yang dikaitkan dengan. Misalnya, persentase pendapatan ekspor (unilateral linkage of debt service to export earnings), dan yang terakhir, menyatakan kebangkrutan sebagai instrumen untuk menyelesaikan negosiasi (responsible unilateral action atau conciliatory default).


Model penyelesaian secara cooperative The Herrhausen Plan didisain oleh mantan Chief Executive Officer Deutche Bank, Alfred Herrhausen, pada tahun 1989. Model rencana pengurangan utang dilakukan melalui tiga cara, yaitu langkah pertama tingkat bunga yang terjadi atas utang-utang negara tersebut dikurangi sampai 50 persen untuk jangka waktu lima tahun, untuk memberikan waktu bernafas kepada negara-negara pengutang tersebut.


Selanjutnya, setelah lima tahun tingkat bunga dikembalikan lagi setara dengan tingkat bunga pasar. Kemudian provisi dari kerugian utang akan dikurangi paling tinggi 50 persen dengan catatan jika masa waktu dan kondisi sejalan dengan aturan yang ada. Langkah terakhir, batas waktu pinjaman yang disetujui secara umum akan diperpanjang menjadi 25 atau 30 tahun dengan periode perpanjangan (grace period) selama lima sampai tujuh tahun.


Model The Sachs Proposal disusun oleh Jeffrey D Sachs, ekonom Universitas Harvard, AS. Dikatakan, perlunya dibentuk sebuah ”Fasilitas Utang Internasional (International Debt Facility - IDF) yang didasarkan atas utang bank pada secondary market discount dibeli dengan dana masyarakat dan dikuasai oleh institusi publik.


Cara kerja mekanisme Sachs adalah sebagai berikut. Misalnya, diasumsikan tingkat diskonto atas utang luar negeri Indonesia sebesar 50 persen. Lembaga IDF akan membeli (dalam jangka panjang) utang Indonesia yang kemudian dipegang oleh bank komersial (jumlah utang luar negeri Indonesia tahun 2001 diperkirakan US$ 139 miliar) dengan nilai pasar Rp 69,5 miliar (ditambah ongkos membayar pengeluaran IDF dan menyediakan cadangan jika Indonesia gagal membayar).


Model ketiga, Institutionalized Insolvency Proceedings mengatakan, apa yang diperlukan dalam pengaturan kelembagaan yang mengizinkan kreditor dan debitor untuk menyelesaikan utangnya yang tidak dapat dibayarkan dan kemudian memulainya dengan hal baru.


Lebih lanjut, model ini menyarankan agar dibentuk sebuah lembaga internasional seperti halnya sebuah pengadilan dan disertai hukum dan peraturan tentang pailit yang dapat membantu untuk menyelesaikan utang luar negeri.


Model cooperative terakhir adalah International Debt Conference. Dalam model ini diasumsikan para kreditor dan debitor duduk bersama-sama dalam satu meja untuk menyelesaikan atau bernegosiasi dalam mencari jalan keluar terbaik, untuk menyelesaikan krisis utang luar negeri yang dialami suatu negara.


Tidak Mudah


Indonesia bisa saja belajar dari pengalaman negara-negara Amerika Latin untuk menyelesaikan utang luar negeri. Namun, model apa pun yang ditempuh, prospek penyelesaian utang luar negeri Indonesia bukan pekerjaan mudah.


Apayang dilakukan, bukan hanya mengandalkan pertemuan seperti Paris Club atau ”kedekatan-kedekatan” menteri dan penasehatnya yang bertanggung jawab di bidang ekonomi dan keuangan dengan pihak kreditor asing. Indonesia juga harus bersikap jelas atas apa dan bagaimana sebenarnya kebutuhan untuk mengurangi utang luar negeri dengan memperhatikan potensi konsekuensi dan biayanya.


Secara internal, Pemerintah Indonesia juga harus punya kemauan politik yang kuat untuk menyita aset-aset yang telah dikorupsi yang terkait dengan pinjaman luar negeri selama ini, dan jangan membebankan pembayaran kepada rakyat kecil melalui pajak yang tinggi. Sebab, jangan sampai kita hanya meminta belas kasihan kepada negara kreditor tetapi membiarkan para koruptor berkeliaran bebas menikmati hasil jarahannya. Utang adalah utang dan utang harus dibayar.


Penulis adalah Head of Research Analyst CFPS






. Indonesia juga harus bersikap jelas atas apa dan bagaimana sebenarnya kebutuhan untuk mengurangi utang luar negeri dengan memperhatikan potensi konsekuensi dan biayanya.


Secara internal, Pemerintah Indonesia juga harus punya kemauan politik yang kuat untuk menyita aset-aset yang telah dikorupsi yang terkait dengan pinjaman luar negeri selama ini, dan jangan membebankan pembayaran kepada rakyat kecil melalui pajak yang tinggi. Sebab, jangan sampai kita hanya meminta belas kasihan kepada negara kreditor tetapi membiarkan para koruptor berkeliaran bebas menikmati hasil jarahanny