Saturday, March 24, 2018

mekar desa kolikapa



PEMERINTAH menyatakan tengah melakukan moratorium terhadap permintaan pemekaran desa di berbagai wilayah. Banyaknya permohonan pemekaran desa itu merupakan imbas dari meningkatnya dana desa yang digulirkan pemerintah pusat ke setiap pelosok desa.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan setidaknya ada permintaan pemekaran atau penambahan 1.800 desa baru. Namun, secara tegas pemerintah menolak usulan pemekaran tersebut.

Alasannya, kata Tjahjo, kemampuan fiskal pemerintah pusat terbatas untuk membiayai seluruh desa dari alokasi dana desa dan dana transfer daerah. Selain itu, berbagai alasan atas usulan pemekaran tersebut dirasa tidak mendesak.



Lahirnya Undang-Undang Desa Nomor: 6 Tahun 2014 yang memberikan kewenangan bagi desa untuk mengelola dana ratusan juta hingga miliaran rupiah mendorong beberapa wilayah di Nagekeo untuk memisahkan diri dan membentuk desa baru. Tidak hanya desa mekar desa, namun ada juga kelurahan mekar menjadi desa.



Di Nagekeo, sejak diberlakukannya UU Desa, sudah ada empat wilayah yang meminta memisahkan diri dari desa atau kelurahan dan membentuk desa sendiri.

Empat wilayah itu, yakni Ua Timur yang meminta melepaskan diri dari Desa Ua, Aemali yang meminta memisahkan diri dari Kelurahan Nageoga, Utedodo yang meminta memisahkan diri dari Kelurahan Nangaroro dan Tengatiba Barat yang meminta memisahkan diri dari Desa Tengatiba.

Kepala Bagian Pemerintahan Setda Nagekeo, Paternus, yang ditemui di Gedung DPRD Nagekeo, Rabu (7/7/2015), mengatakan, regulasi terbaru yakni PP Nomor: 43 tahun 2014 memang memungkinkan pemekaran desa atau kelurahan dan pemekaran kelurahan menjadi desa.



Paternus mengungkapkan, dalam pasal 24, ayat (1) dan (2), menyiratkan kemungkinan itu. Pada ayat (1), disebutkan perubahan status kelurahan menjadi desa dapat dilakukan jika masyarakat dari kelurahan itu masih bersifat perdesaan.

Perubahan status kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan seluruhnya atau sebagian menjadi desa dan kelurahan.



Paternus mengatakan, meskipun PP Nomor: 43/ 2014 memungkinan untuk dilakukan pemekaran desa atau kelurahan menjadi desa, namun pihaknya tetap menunggu petunjuk lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri. "Sekarang ini usulan kami terima saja sambil menunggu permendagri," katanya.



Sementara Wakil Ketua Komisi A DPRD Nagekeo, Yohanes Kantius Nio, dalam pertemuan dengan masyarakat Tengatiba Timur, Selasa (6/7/2015), mengatakan, regulasi tentang pembentukan desa baru sangat ketat. Bahkan Johanes Nio mengatakan, dalam penjelasan pejabat Kementerian Dalam Negeri saat Anggota DPRD Nagekeo mengikuti bimtek di Jakarta beberapa waktu lalu ditegaskan, kelurahan tidak bisa dimekarkan menjadi desa, serta syarat jumlah penduduk dan luas wilayah yang akan dibentuk menjadi desa. Johanes Nio meminta masyarakat yang hendak mengajukan usulan pemekaran desa dan pembentukan desa baru agar mengkaki secara matang sesuai regulasi yang berlaku.






Monday, March 12, 2018

mbay kiri


Penolakan terhadap SK Bupati Nagekeo tentang Pendistribusian lahan irigasi di Mbay Kiri terus berlanjut.
Sementara Pemda Nagekeo melalui Asisten 1, Florentinus Pone dan Kepala Dinas Pertanian Nagekeo, Wolfgang Lena bersikukuh tetap akan mendistribusikan lahan Mbay Kiri.
Wolfgang bahkan mengatakan, dari sisi kedudukan hukum kesepakatan lebih rendah dari Surat Keputusan. Karena itu, kesepakatan antara Pemda Nagekeo dan Masyarakat Nagekeo gugur demi hukum.
Hal itu disampaikan Wolfgang dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPRD Nagekeo, Rabu (5/7/2017).
"Dari sisi kedudukan hukum, kesepakatan lebih rendah dari surat keputusan kepala daerah. Karena itu, dengan terbitnya SK Bupati yang baru, kesepakatan tersebut dengan sendirinya gugur," kata Wolfgang.
Wolfgang juga mengatakan, lahan irigasi Mbay Kiri harus secepatnya difungsikan karena itu perintah Panglima TNI. 
Asisten I Setda Nagekeo, Florentinus Pone mengatakan, lahan irigasi Mbay Kiri merupakan satu kesatuan dengan Mbay Kanan seluas 6.880,50 ha yang diserahkan oleh tiga suku besar, Dhawe, Lape dan Nataia  pada tahun 1952, dan terakhir direvisi tahun 1978 dengan batas Utara dengan Laut Flores, Selatan dengan Parit Sekunder, Barat dengan Bukit Sanga Benga (Wewo Rowet) dan Timur dengan Tanah Kering.
Lorens  menegaskan, lahan Irigasi Mbay Kiri merupakan tanah negara berdasarkan penyerahan tiga suku tersebut. "Tanah Irigasi Mbay Kiri diserahkan satu kesatuan dengan Mbay Kanan. Yang diserahkan oleh tiga suku. selain tiga suku itu tidak ada suku-suku lain. Jangan percaya dengan informasi sesat," kata Lorens.
Ia juga menegaskan, tetap akan mendistribusikan lahan Irigasi Mbay Kiri sesuai SK Bupati Nagekeo Nomor: 374/ 2016.


"Tanah itu tanah negara. tapi masyarakat menganggap seah-olah itu tanah pribadi. Kita tetap perhatikan masyarakat yang belum dapat lahan pada tahap kedua. Masih ada 300 lebih hektar yang akan dicetak lagi tahap kedua. Tapi untuk tahap pertama kita minta dahulukan mereka yang nama-namanya ada di SK Bupati," kata Lorens.
Lorens bahkan bersumpah atas pernyataannya tersebut.
Sementara salah satu Anggota Komunitas Peduli Irigasi Mbay Kiri, Adimat Manetima mengatakan, pernyataan Lorens dan Wolfgang merupakan pembohongan publik karena kenyataannya ada banyak nama dalam daftar penerima lahan irigasi Mbay Kiri tahap pertama yang telah memiliki lahan di Mbay Kanan. Adimat juga mempertanyakan tentang keberadaan lahan 300 hektar yang akan digarap tahap kedua.
"Jangan sampai lahan itu ada di lokasi transmigrasi lokal   yang kepemilikannya sudah jelas. Soal batas tanah irigasi khususnya Mbay Kiri, dimana batas Selatannya? Kalau mengikuti penyerahan tahun 1952 sampai tahun 1978, di Mbay bagian kiri belum ada parit sekunder. Lalu apa yang digunakan pemda untuk menentukan batas lahan irigasi Mbay Kiri?" tanya Adimat.
Adimat meminta Pemda Nagekeo berdialog langsung dengan masyarakat di lokasi irigasi Mbay Kiri. Permintaan itu sejalan dengan rekomendasi Rapat Kerja Pemda Nagekeo dengan Komisi C DPRD Nagekeo, Rabu (5/7/2017).
Pada kesempatan yang sama, Adimat juga menegaskan, SK Bupati Nagekeo tahun 2016 tidak serta merta menggugurkan kesepakatan Pemda Nagekeo yang ditandatangani Bupati Yohanes Samping Aoh dengan masyarakat Mbay I dan Mbay II tanggal 4 Juni 2010.
"Yang membatalkan kesepakatan itu pengadilan atau karena ada persetujuan kedua belah pihak untuk mengakhiri kesepakatan itu. Kalau satu pihak yang batalkan,namanya ingkar janji. Artinya, obyek yang disepakati  dalam hal ini saluran irigasi Mbay kiri juga batal demi hukum atau ditutup karena saluran itu dibangun dan melintasi tanah masyarakat karena kesepakatan itu," demikian Adimat.





jalan rusak mbay

Pembenahan dan perbaikan jalan yang merupakan infrastruktur utama transportasi haruslah menjadi prioritas pemerintah dalam menjalankan roda pemeritahan sehingga tidakmenghambat kemajuan ekonomi daerah tersebut, apalagi jalan raya merupakan ancaman tersendiri bagi keselamatan penggunanya.

Jalan raya yang seharusnya menjadi modal dalam arus transportasi malah memakan korban ini mencerminkan ketidak pekaan pemerintah terhadap infrastruktur atau sarana yang rusak parah. Salah satu contoh pemerintah daerah yang tidak peka terhadap infrastruktur jalan rayah adalah kerusakan jalan yang terjadi di Kantor Dinas Kehutanan dan Kantor Camat Aesesa.

Ruas jalan yang membelah Kantor Dinas Kehutanan dan Kantor Camat Aesesa rusak parah. Genangan air hujan membentuk kolam ada di sepanjang jalan menuju Pasar Danga dengan panjang sekitar 100 meter itu.

Pada Sabtu (10/3/2018), kondisi jalan yang berada di sekitar kompleks Gedubg DPRD Nagekeo itu semakin sembrawut dengan kehadiran para pedagang beras mingguan dan padatnya kendaraan yang melintasi jalur itu. Akibatnya, jalan menjadi becek dan berlumpur. Belum lagi bau apek dari sisa-sisa dedak padi yang terendam air hujan.

Tidak hanya jalan menuju Pasar Danga. Ruas jalan di utara Kantor Camat Aesesa atau di Depan Kantor DPRD Nagekeo juga rusak parah. Anda yang melintasi ruas jalan ini harus waspada karena lubang-lubang di sepanjang ruas jalan itu menunggu anda.

Beberapa pengguna jalan yang ditemui Sabtu siang, berharap Pemda Nagekeo memberi perhatian serius terhadap ruas jalan itu karena arus lalulinta di jalan itu cukup padat. Apalagi, kata mereka, ruas jalan itu ada di pusat Kota Mbay dan di depan Gedung DPRD Nagekeo.

"Kita berharap ada perbaikan jalan dalam kota terutama di jalur ini. Ini khan jalur padat dan di depan mata DPRD," kata Frans, tukang ojek yang hampir setiap hari melintasi jalur tersebut.

Sunday, March 11, 2018

bendungan sutami mbaydam

Bencana tak selamanya membawa kerusakan an sich. Dibalik bencana, ada sesuatu pesan yang dapat diambil hikmahnya. Letusan gunung Berapi misalnya, akan diikuti lahar dingin.
Tahukah kita semua apa itu lahar dingin? Itulah.. material pasir dan sirtu yang diantarkan oleh Sang Gunung Merapi ke pemukiman penduduk, untuk digunakan sebagai material pembuat infra struktur dan bangunan yang sempat porak poranda dengan kualitas nomer wahid.
Masalahnya, maukah kita memanfaatkan kejadian yang seakan memporak porandakan itu, menjadikannya sesuatu yang memiliki nilai manfaat. Melakukan sesuatu yang membawa perubahan ke arah lebih baik bagi masyarakat luas.
Demikianlah yang terjadi di Mbay, Ibu kota dari Kabupaten Nagekeo. Flores. Bencana banjir bandang yang terjadi pada 29 April 1973, nyaris menenggelamkan Nagekeo, setelah terjadi hujan terus menerus selama tiga hari tiga malam.
Meluluh-lantakkan seluruh wilayah yang dialirinya, menghanyutkan rumah warga, lahan pertanian, sawah, ternak penduduk dan menelan korban jiwa hingga 20 orang tercatat meninggal.
Belajar dari bencana yang terjadi, maka pemerintah ketika itu berniat membuat Bendung dengan tujuan agar dapat mengendalikan air dan menyalurkannya secara teratur dan kontinyu untuk dapat digunakan pada lahan persawahan yang awalnya hanya sawah tadah hujan.
Perencanaan segera dilakukan dengan leading sektor Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jendral Sumber Daya Air, Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II. Lalu dengan PT. Adhi Karya sebagai pelaksana pekerjaan. Lalu, selesai perencanaan, pekerjaan fisik segera dikebut.
Dua tahun kemudian, persisinya pada bulan November 1975 pekerjaan Bendung selesai dilaksanakan dan siap untuk dimanfaatkan. Pemerintah meresmikan penggunaannya, yang dilakukan oleh Mentri Pekerjaan Umum ketika itu, Ir. Sutami. Sejak saat itu, Bendung ini, dikenal masyarakat sebagai Bendung Sutami.
Bendung Sutami, mampu mengairi areal persawahan seluas 6.500 hektar dengan cakupan lokasi daerah antara lain; Teda Mude, Lange Dawe, Rendu Butowe, Jawa Kisa, Danga, Boa Nio, Ae Ramo, Penginanga, Marpokot, Mbay I dan Mbay II, Towak, Wolo Nio, Tonggu Rambang, Wae kokak, Dawe dan Munde. Dengan kapasitas air 7.800 liter/detik.
Dari hasil-hasil bincang-bincang, ternyata kemampuan mengairi areal persawahan yang dapat dilakukan Bendung Sutami belum maksimal. Bendung yang menampung 88 aliran sungai-sungai kecil itu, masih memiliki beberapa kemungkinan untuk dikembangkan, jika saja beberapa kendala yang menghadangnya dapat segera diselesaikan.
Kendalanya terletak pada pembebasan lahan. Bukan hanya pada soal harga tanah, juga ada persoalan pada tanah-tanah yang dimiliki kaum adat, sosialisasi tentang perlunya pengairan dan keuntungan ekonomi dari pengairan serta turunan-turunan pengembangan ekonomi yang menyertainya.
Semoga saja, kendala yang menghadang segera mendapatkan solusi. Kita tidak berharap, seperti kata seloroh seorang teman, Mbay adalah singkatan dari “Mbahe mumet” dalam masalah tanah.
Melainkan seperti pepetah lama leluhur orang Nagekeo “Gore ‘ine ‘oe, bholo ma’e taku gore” yang artinya, semua masalah sulit, harus ada jalan keluarnya (solusi).

Saturday, March 10, 2018

Nagekeo masih kekurangan listrik



Anda pernah ke Kota Mbay, Ibukota Kabupaten Nagekeo di waktu malam? Lihatlah betapa suramnya kota itu dari ketinggian Kesidari (pintu masuk Mbay dari arah Aegela). Tak ada gemerlap lampu, gelap seperti kota hantu. Pasalnya, keterbatasan lampu jalan penerang kota. Sampai saat ini, seantero Kota Mbay dan sekitarnya baru 179 lampu jalan yang terpasang. itu pun yang menyala hanya 97 lampu. Sisanya rusak dan tak layak. Beberapa warga Kota Mbay yang ditemui pekan ini mempertanyakan sistem penataan lampu jalan di kota itu. Pasalnya, rakyat sudah membayar penerangan umum dalam rekening listrik yang disetorkan ke PLN.
"Akibat keterbatasan lampu jalan dan lemahnya sistem keamanan dan ketertiban umum, Mbay saat ini menjadi kota yang tidak bersahabat di malam hari," kata Warga bernama Ebaz.
Kepala Bidang Penataan dan Lingkungan Perkotaan, Dinas Pekerjaan Umun Kabupaten Nagekeo, Nikolaus Toda yang ditemui di Mbay, Rabu (24/5/2017), mengatakan, sampai saat ini memang hanya 97 lampu jalan yang menyala dari 179 lampu yang terpasang. Sisanya, rusak.
"Itu hasil pemeriksaan kita dua pekan lalu. Lampu tersebut ada yang dipasang dari tahun 2011, ada yang baru dipasang tahun 2011. Ada ornamen rusak atau tidak layak. Pasang baru juga ada yang rusak akibat listrik mati hidup. Ada juga lampu yang rusak karena kenakalan remaja," kata Nikolaus.
Nikolau mengungkapkan, idealnya Mbay dan sekitarnya membutuhkan 1000 lampu. Namun yang terpasang, katanya, baru 179, menyala hanya 97 lampu.
Dikatakan Nikolaus, pihaknya akan terus menambah lampu jalan di Kota Mbay seauai dengan ketersediaan anggaran.
" Rencana tahun 2017, ada tambahan 100 buah lampu menggunakan PLTS (pembangkit listrik tenaga surya) dengan total anggaran Rp 2,4 miliarx" kata Nikolaus.
Ia mengatakan, 100 unit lampu itu akan diprioritaskan di rumah ibadah, fasilitas pemerintah, persimpangan dan sekolah.
"Saya berharap masyarakat ikut menjaga fasilitas pemerintah termasuk lampu jalan. Terkadang kita pasang malam, besok pagi sudah hancur berserakan. Kita akan komunikasi dengan PLN apakah daya mampu atau tidak ketika kita menambah lampu jalan. Kalau tidak , masalah baru. Listrik mati hidup, lampu rusak. Padahal, satu lampu jalan, harganya cukup mahal," demikian Nikolaus.